HAJI: Menjadi ‘Murid’ Beliau di Makkah

Saya mengenalnya dengan panggilan Pak Ma’shum. Sejak Ayah dan pakdhe saya sekolah dasar, beliau sudah mengajar mereka. Sampai detik ini tenaganya masih dibutuhkan di satu-satunya Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah yang berada di desa Sendangagung kec. Paciran kab. Lamongan. Saya kira hampir penduduk desa itu pernah diajar oleh beliau.

Beberapa bulan lalu pakdhe saya yang mendirikan Ponpes Al-Ishlah di Sendangagung mendaftarkan lima nama guru termasuk Pak Ma’shum ke Kantor Urusan Agama Kedutaan Arab Saudi untuk berangkat haji tahun 1433 H gratis. Tak mudah langkah pakdhe saya untuk meloloskan nama-nama tersebut. Dari lima hanya nama Ma’shum Ahmad Sentho yang diminta untuk menyelesaikan urusan selanjutnya. Ketika pakdhe saya baru beberapa menit sampai ke Kantor Atase Agama untuk menyerahkan persyaratan yang diminta, ternyata nama Pak Ma’shum baru saja dicoret dari daftar calon jamaah haji.

Pakdhe saya yang saat itu sedang tidak enak badan shock mendengar berita itu. Namun pakdhe saya tak mau patah arang, selama dua hari di Jakarta ‘merayu’ Syeikh Ibrahim (Kepala kantor atase) demi guru MIMnya itu. Usahanya melunakkan hati Syeik Ibrahim yang berkali-kali dengan tegas dan keras menolak ‘rayuan’ pakdhe saya akhirnya berhasil juga. Pak Ma’shum berhasil ‘kembali’ masuk daftar calon jamaah haji.

Betapa senangnya Pak Ma’shum mendengar kabar itu. Tapi di satu sisi beliau resah, karena ia akan berangkat seorang diri tanpa empat nama tadi yang beliau kenal. Beliau tak memikirkan fisiknya yang memang masih kuat. Beliau tak memikirkan pengetahuannya tentang tata cara haji yang memang sudah sejak muda dikuasainya. Yang beliau khawatirkan adalah berada di negara yang baru sekali ia singgahi dengan usia yang sudah masuk kepala tujuh bersama jutaan orang muslim yang tidak ia kenal dan bahasa internasional yang tidak ia kuasai betul. Kekhawatiran yang wajar.

Namun tiga hari sebelum keberangkatan atau sekitar seminggu sebelum hari raya Idul Adha, ketika baru saja beliau dan anak bungsunya sampai di rumah keluarganya di Jakarta, kabar baik datang.

Tiba-tiba ibu saya menerima telepon dari saudara sepupu saya yang bekerja di Kantor Atase Agama Kedutaan Saudi. Yang isi dari percakapan telepon itu ternyata adalah sebuah panggilan untuk saya. Sebuah panggilan suci yang amat cepat untuk saya yang masih muda karena biasanya lebih diharapkan oleh orang-orang tua. Sangat mendadak untuk saya yang belum pernah belajar lebih jauh tentang tata cara pelaksanaannya. Sangat terburu-buru untuk saya yang belum mempunyai paspor dan hanya punya dua hari untuk mempersiapkan segala yang dibutuhan sebelum berangkat. Ya, saya yang tidak sama sekali mengajukan diri, mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji.

Telepon pada Jum’at pagi tersebut bukan tanpa sebab, ayah saya (almarhum) dua belas tahun lalu adalah pegawai di Atase Agama Kedutaan Saudi. Ini benar-benar barokahnya ayah saya. Syeikh Ibrahim tiba-tiba menananyakan anak-anak yang ayah saya ‘tinggalkan’ apakah sudah menunaikan haji atau belum. Dan yang diberi kesempatan adalah saya sebagai anak pertama. Ini salah satu yang saya yakini adalah hasil dari “Investasi Kebaikan” ayah saya. Bukannya ‘GR’ atau menyombongkan diri, karena memang saya bukan siapa siapa, keberangkatan saya ini sepertinya memang ditetapkan Allah untuk mengawal Pak Ma’shum.

Saya menangis haru karena bisa berangkat haji tanpa diduga-duga dengan proses secepat itu. Tak ada alasan untuk tidak menerima tawaran itu. Tak perlu izin kuliah karena memang hanya tinggal urusan skripsi yang bisa ditinggal.

Pak Ma’shum dan anaknya juga ikut senang, kekhawatirannya terhapus oleh kabar saya berangkat juga bersama sekitar 200-an jamaah haji undangan Kedutaan Arab Saudi lainnya. Tak perlu risau lagi karena ada saya yang akan menemani beliau. Pada hari Sabtunya saya mengunjungi rumah keluarga pak Ma’shum setelah mendapatkan telepon dari anak bungsu yang menemani beliau dari Lamongan. Saya memang sudah mengenal anak bungsu pak Ma’shum karena ia salah satu senior dan ustadz di pondok saya belajar dulu. Tapi saat itu adalah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan salah satu pembawa Muhammadiyah pertama di desa Sendangagung tersebut. Pertemuan itu mengisyaratkan dimulainya kisah beliau dan saya. 😀

Pada hari Senin dalam perjalanan dari Kantor Atase (daerah Menteng) ke bandara Soekarno-Hatta saya bertanya banyak tentang tata cara dan doa-doa haji pada beliau. Sesekali saya melanjutkan bacaan ringkasan tata cara dan doa haji yang ditulis oleh ibu saya dalam beberapa lembar kertas. Ibu saya yang sudah haji (juga undangan kedutaan) ketika ayah saya masih hidup, sebelumnya sempat mengajari tetangga (ibu-ibu) calon jamaah haji yang mengajukan diri ke Kantor Atase. Makanya beliau membuat ringkasan doa-doa dan tata cara haji untuk memudahkan pengajaran.

Sepuluh hari berikutnya adalah perjalanan dan perjuangan ibadah haji yang luar biasa.

Terlantar hampir 10 jam tanpa makanan di bandara King Abdul Aziz di Jeddah yang dilanjutkan 10 jam berikutnya beribadah di Masjidil Haram (masih) tanpa makanan yang masuk perut. Tangan Pak Ma’shum selalu memegang erat kain ihram saya dari belakang ketika mengelilingi Ka’bah yang dipadati begitu banyak muslim dari berbagai negara. Berdesak-desakan dengan jamaah haji negara lain di salah satu booth yang menjual buah di Mina hanya untuk membeli satu kilo pisang seharga 10 riyal (kurs sekitar Rp 2.700) kesukaan beliau. Berwukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah yang dilanjutkan bermalam di Muzdalifah. Mengambil batu-batu kerikil untuk melontar jumrah. Berjalan kaki dari kemah di Mina ke Jamarat (tempat lempar jumrah) dan berlanjut ke Masjidil Haram yang memakan waktu 9 jam perjalanan bolak-balik. Bayangkan sembilan jam berjalan kaki. Sesampainya kembali di kemah, pergelangan belakang lutut saya tidak kuat untuk rukuk. Luar biasa sakitnya. Saya tidak tahu Pak Ma’shum yang tinggi tegap itu merasa sakit atau tidak, namun menurut pengakuannya ia malah lebih kuat jalan kaki ketimbang berlama-lama duduk. Ia malah meledek saya karena tidak kuat berjalan. Selama penerbangan sekitar 8 jam di pesawat pun saya terkadang melihat beliau berdiri disamping kursinya yang berada beberapa baris di belakang kursi saya.

Pada tiga hari terakhir kondisi fisik Pak Ma’shum tiba-tiba menurun. Pada tawaf perpisahan saya harus mendorong beliau dengan kursi roda sewaan seharga 300 riyal untuk mengelilingi Ka’bah di lantai dua masjid yang memiliki jalur keliling lebih lebar. Untuk tawaf di lantai bawah di jalur terdekat Ka’bah yang penuh sesak saja perlu waktu sekitar 30-45 menit untuk menyelesaikan tujuh putaran. Apalagi lantai atas yang lebih jauh dari Ka’bah. Silahkan lihat gambar Masjidil Haram untuk membayangkan luasnya lantai dua masjid tersebut. Putaran pertama saya agak berlari-lari cepat. Lewat satu putaran kecepatan dorong mulai menurun. Haha 😀 Saya tidak perlu terganggu dengan ibadah tawaf wada saya karena mendorong beliau, sebelumnya saya sendiri sudah melaksanakannya di lantai bawah ketika beliau saya biarkan tertidur bersama beberapa jamaah dari rombongan kami yang sedang beristirahat.

Ternyata memang hampir semua jamaah haji rombongan kami mengalami penurunan kondisi kesehatan. Suara batuk dan pilek mulai mengisi perjalanan dari Makkah ke bandara di Jeddah. Bahkan salah satu teman jamaah saya meminta untuk dikerok punggungnya ketika sampai bandara sebelum berangkat pulang. Dadanya terasa sesak. Sementara saya masih gejala pilek saat itu, justru kondisi badan saya turun parah setelah sampai di rumah.

Kepulangan kami di Bandara Cengkareng disambut oleh keluarga saya. Pak Ma’shum juga disambut (kembali) oleh anak bungsunya. Karena sebelum pulang, beliau meminta saya menghubungi anaknya untuk datang menjemputnya. Karena beliau khawatir apabila pulang sendiri dengan kondisi fisik yang masih belum baik. Beliau tidak langsung terbang ke Surabaya, menyempatkan mampir dan istirahat sejenak di rumah saya. Hingga dua sepeda motor datang ke rumah saya untuk membawa mereka ke rumah keluarganya di Jakarta.

Kami berpamitan. Sesaat sebelum naik ke tempat duduk belakang motor, Pak Ma’shum menoleh tersenyum ke arah saya tanpa keluar kata-kata. Pandangan itu seakan-akan dua teman dekat yang hendak berpisah lama. Saya membalas senyuman itu. Secara pribadi itu momen yang sangat mengharukan.

Saya mungkin bukan seperti orang-orang desa Sendang lain yang pernah diajar oleh beliau di sekolah. Saya mungkin bukan orang-orang terdekatnya yang sudah lama mengenal beliau. Tapi sepuluh hari yang singkat cukup untuk menempatkan nama beliau di hati saya. Saya merasa beruntung dan bersyukur bisa menjadi pengawal “Sang Guru”. Setidaknya saya harus bangga menjadi “Murid” beliau di Makkah.. 😀

Foto 1

~Nastamir fi waqtin akhor~

———————————————————

NB:

Ini adalah tulisan pertama saya untuk “HAJI:” yang menceritakan pengalaman saya ketika melaksanakan ibadah haji 1433 H. Saya memberi judul HAJI titik dua karena akan berisi beberapa tulisan dengan bahan topik berbeda namun masih bercerita tentang ibadah haji yang saya laksanakan.
Categories: HAJI: | Tags: , | 11 Comments

Post navigation

11 thoughts on “HAJI: Menjadi ‘Murid’ Beliau di Makkah

  1. Agung Andika

    panggilan dari-Nya untuk menyempurnakan rukun Islam pak 🙂
    tinggal sedikit lagi menyempurnakan setengah dien,, menikah 🙂

    ditunggu episode-episode perjalanan hikmah selanjutnya pak 🙂

    • Alhamdulillah dan mudah-mudahan dimudahkan juga untuk menyempurnakan setengah dien lagi. amin 😀

      Terimakasih bung Agung sudah membaca dan meninggalkan jejak. *salaman*

  2. zada qua fillah

    barokallah lakuma…

  3. Memberikan inspirasi sekali. terutama pada kalimat “Ini salah satu yang saya yakini adalah hasil dari “Investasi Kebaikan” ayah aya”. Investasi kebaikan ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kaum muda, bagi siapapun… sesungguhnya dalam melakukan kebaikan tidak pernah rugi, kapanpun, dan dimanapun. Kita tidak akan pernah tahu kapan investasi itu akan kita peroleh. Ini menjadi pemicu bagi kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

    • Kita tidak perlu berpura-pura untuk berbaik hati. Karena kebaikan datang dari hati yang tak berpura-pura. Terimakasih mbak’e atas komentarnya. 😀

  4. Investasi Kebaikan .. 🙂
    tulisan di blog ini lebih menjawab timbang denger cerita yang susah payah harus dimintai ke pilus hahaha … 🙂

    Menunggu episode agan haji slanjutnya 😀

    • emang susah ya minta ke pilus? haha 😀
      siap fan. Thanks sudah membaca dan meninggalkan jejak.
      Next siap2 untuk jadi writing buddy saya lagi ya. 😀

  5. subhanallah..
    ‘wayarzuqhu min haytsu laa yahtasib’

    ditunggu bang kisah-kisah selanjutnya 😀

    • Siap, cup! Thanks udah sampe nunggu lama tulisan ini. It’s an honour to have a reader waiting for my post. hehe

  6. Salam. Hei… berkaca mbak Ttn membacanya. Wah rupanya thawaf butuh waktu 30-45 menit ya? kok nggak nyadar ya mbak Ttn..

Leave a comment

Blog at WordPress.com.