Uncategorized

Berbincang Lebih Hangat

“Pandji siapa si, Ka?”

“Pandji manusia millenium?”

“Pandji cucunya Soeharto?”

“Pandji yang suka nangkepin uler? Emang masih hidup dia?”

“Pandji yang mana dah?”

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul ketika saya bercerita heboh tentang satu sosok ini. Dan saya selalu menyangkal tebakan mereka semua. “Bukan. Bukan itu.”

Lalu saya mencoba mengingatkan sedikit tentang dia dengan beberapa acara TV yang membuatnya terkenal. Yang paling ampuh acara Kena Deh, “Oh dia.”

Kalau mereka masih belum kenal juga, dengan nada turun saya akan mengakhiri pembicaraan, “Ah, sudah lah.”

Continue reading

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Perempuan di Balik Jendela

Nadia, kamu tahu apa yang paling indah dari menjalin sebuah hubungan? Meninggalkan cinta tanpa dendam dan meneruskan hubungan melalui doa-doa yang terucap dari mulut kita.

***

Siang ini matahari menampakkan teriknya lebih dari biasanya. Sekelompok angin kecil bertiup–menerbangkan sejenak apa saja yang ia temui di daratan: sampah plastik, kertas, dedaunan. Jalan tanah di samping jalan besar aspal itu memperlihatkan retakannya. Seminggu yang lalu Badan Metereologi Klimatologi Geofisika memperkirakan bahwa minggu ini akan menjadi minggu terpanas di musim hujan bulan Desember. Saat itu aku tak percaya, karena biasanya menjelang pergantian tahun hujan akan semakin lebat. “Menurut BMKG, fenomena ini bisa terjadi dalam 10 tahun sekali.” suara lembut reporter wanita di televisi itu seperti mencoba meyakinkanku. Hari ini aku membuktikan sendiri hawa panas yang membakar kulit.

Semoga ini hari terakhir. Ujarku dalam hati. Aku sudah merindukan suara tetes hujan yang membunyikan atap seng rumah-rumah di sekitar. Melihat kaki-kaki yang meloncat menghindari genangan air kotor. Menyaksikan tangan-tangan yang menutupi kepala dengan tas, dengan buku, dengan plastik, dengan apa pun yang sedang dipegangnya. Memperhatikan pengendara motor yang sedang berteduh dan hanya bisa memandangi mobil yang berlalu tak memperdulikannya. Menertawakan anak-anak kecil yang terjatuh karena terlalu senang berlarian, berteriak, bermain, dan bercanda dengan hujan. Aku seperti melihat masa kecilku di sana. Ah, cepat sekali waktu berlalu. Namun begitu, kenangannya masih tersimpan jelas di album memoriku.

Panas sekali cuaca hari ini. Aku melangkah gontai menuju asramaku. Lelah. Pelajaran di sekolah tadi agak memusingkan kepalaku. Teman-temanku yang lain juga bilang begitu. Syukurnya hari ini sekolah pulang lebih cepat, sehingga aku tak ‘tersiksa’ lebih lama. Katanya guru-guru akan pergi rapat di kantor diknas provinsi.

Segelas minuman dingin sudah menari-nari di kepala menggodaku. Pecahan-pecahan halus es batu di minuman itu seperti memijat-mijat ketika melewati kerongkongan. Aku ingin segera mengguyur kepalaku dengan minuman itu. Anganku mulai meninggalkan ragaku dan mungkin akan lebih jauh lagi bila saja sesuatu tidak membuyarkan lamunanku. Pandanganku mungkin akan tetap lemah ke bawah kalau saja dua tangan yang membuka jendela kamar sebuah rumah mengusik pandanganku. Kedua mataku tetiba menangkap sesuatu yang lebih segar dari minuman dingin yang sedari tadi sudah terbayang di kepala. Wajah yang terlihat di balik jendela itu pun benar-benar menyejukkan hati dan melegakan dahaga.

Wajah itu bukan milik sosok yang asing lagi. Ketika aku dan teman-teman menonton televisi di ruang tengah rumah ibu asrama, aku melihatnya di sana. Biasa saja, tak ada yang menarik dari seorang gadis kecil sepertinya. Tapi entah kenapa siang itu aku seperti baru saja melihatnya. Seperti tersadar dari alam bawah sadar. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Entah apa itu. Tuhan sepertinya memberikan detik-detik asing ini untuk mempertemukan aku dengannya–perempuan manis di balik jendela. Sepertinya ia baru saja pulang sekolah. Ia masih mengenakan seragam putih biru dan baru saja membuka jendela kamarnya. Saat itu ia terlihat kepanasan.

Letak asrama dan sekolah memang tidak berada dalam satu kawasan. Untuk kembali ke asrama aku harus melewati samping rumahmu yang berada di depan dan memang berhubungan dengan asrama.

Senyumannya menyadarkan lamunanku. Aku tersipu malu dan tanpa sadar aku membalas senyuman itu. Lebih malu lagi karena ternyata teman-temanku memperhatikanku sedari tadi. Aku menjadi bahan kejahilan mereka.

“Hush jangan bengong. Sudah sana ngobrol, jangan dilihatin aja.” Doni, teman akrabku itu menggodaku. Tawa-tawa teman lain bersautan.

“Haha.. Apa sih. Ayo cepat kita ke asrama. Aku haus sekali.” aku hanya bisa memukul Doni dan meneruskan langkahku menuju asrama yang tinggal beberapa langkah lagi. Meninggalkannya yang tersenyum melihatku dan teman-teman sampai menghilang di balik kelokan.

***

Bulan menampakkan sinarnya. Siang panas tadi menjelma menjadi malam dingin. Teriakan jangkrik mulai saling bersahut-sahutan. Selepas Magrib aku dan teman-teman masuk ke rumah Bu Rahma, ibu asrama, untuk makan malam. Selain mengawasi penghuni asrama, Bu Rahma juga bertanggung jawab terhadap kebutuhan makanku dan teman-teman. Bu Rahma sudah menganggap kami anak-anaknya sendiri. Meski seringkali beliau memarahi kami yang sulit sekali diatur. Tapi beliau benar ibu asrama yang baik sekali. Sangat memperhatikan aku dan teman-teman yang jauh dari keluarga. Beliau pun sudah seperti ibu kami sendiri.

“Kalian rencana mau kemana malam ini? Malam tahun baru ini cuaca cerah loh. Biasanya hujan.” tanya Bu Rahma pada kami yang sedang menikmati makan malam.

Oh iya aku baru ingat kalau hari ini adalah hari terakhir di tahun ini. Pantas saja televisi dari tadi menyajikan acara musik besar-besaran. Entah kenapa teman-teman tak menyinggung sama sekali tentang agenda malam tahun baru. Tidak mungkin mereka lupa, pasti karena mereka bingung akan kemana , dan bisa jadi mereka memang benar-benar lupa sepertiku.

Tetiba saja ada rindu lain menggugahku. Rindu akan keluarga yang terpisah jauh di ibukota sana. Ini tahun baru pertamaku jauh dari rumah. Tahun lalu aku masih bisa menikmati malam tahun baru bersama teman-temanku di pusat kota. Sepertinya tahun ini aku hanya bisa mendengar suara mereka lewat telepon.

Sejak lulus sekolah menengah pertama aku harus ikut nenek di kampung. Aku dipaksa pindah ke sini. Tapi aku tak benar-benar tinggal di rumah nenek. Karena tahun pertama ini aku harus menetap di asrama. Menurut Ayah, ini salah satu SMA terbaik di kota ini. Banyak orang tua yang mengincar kursi untuk anaknya. Alasan lainnya agar aku sementara diasingkan dari hiruk pikuk ibu kota. Ayah dan ibuku sepertinya terlalu khawatir denganku yang sebenarnya baik-baik saja. Aku sempat menolak dan ingin meneruskan sekolah di Jakarta saja. Tapi karena tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka, aku hanya bisa menurut.

“Di sini pergaulan sudah terlalu rusak, Rifka. Kamu akan mendapatkan teman-teman yang lebih banyak dan beragam. Di sana kamu bisa lebih banyak belajar. Ayah ingin kamu bisa memaknai hidup lebih dalam. Kamu akan mengerti setelah pulang dari sana. Percaya sama Ayah.” Aku ingat betul nasihat ayah waktu itu.

Tadinya aku sudah berpikiran negatif tentang kota Padang ini. Aku sudah berpikir aku tidak akan betah tinggal di sini. Meski ini kampung asal ayahku dan beberapa kali pernah berlibur ke sini. Tapi aku tak pernah begitu merindukannya. Bila libur tiba, aku lebih memilih untuk menghabiskan masa liburku di kampung ibuku di Lamongan. Mungkin karena Jakarta lebih dekat dengan kota di timur pulau Jawa itu–dan bisa jadi karena aku lebih suka suasana kampung ibuku yang masih tenang dan asri itu.

Minggu-minggu pertama di sini adalah minggu terberatku. Aku harus menyiapkan sendiri semua kebutuhanku. Terlebih lagi aku harus beradaptasi dengan budaya setempat. Dulu aku bisa bebas keluar malam. Di sini aku tidak bisa seenaknya keluar malam. Tak bisa aku memperlakukannya sama seperti di Jakarta. Tapi setelah beberapa bulan di sini aku mulai betah. Aku mulai mendapat bebarapa teman dekat. Juga mengenal lingkungan sekitar.

Gunung Pangilun nama daerah ini. Sebuah kota di utara Padang. Suasananya tidak seperti kota di Jakarta, tapi tidak juga pedesaan seperti yang aku lewati sepanjang jalan ketika menuju Lamongan. Selepas Magrib hampir tidak ada penduduk yang keluar rumah. Jam 8 malam aktifitas kota Padang memang sudah tidak ramai lagi. Suara-suara binatang mulai menghiasi malam. Hewan-hewan liar masih sering banyak dijumpai. Bahkan suatu waktu pernah seekor ular masuk ke asrama. Teman-teman asrama panik, termasuk aku. Seingatku dulu aku tak takut ular. Entah sejak kapan, aku merinding kalau melihat ular. Melihat saja aku ngeri, apalagi menyentuhnya. Salah satu teman lalu memanggil Bu Rahma yang kemudian memanggil suaminya untuk mengusir ular itu. Ular itu pasti berasal dari arah rawa di belakang asrama. Di belakang asrama memang masih banyak rawa-rawa.

Tak jauh dari asrama ada juga sebuah bukit. Bukit itu lah sebenarnya pemilik nama Gunung Pangilun. Konon katanya, dahulu ada seorang pria tua yang sangat dihormati dan disegani bernama Angku Pangilun. Ia tinggal di lereng sebuah bukit bersama anjing peliharannya. Namanya tidak hanya dikenal di daerah itu saja tapi juga di daerah lain. Karena kesaktiannya, banyak orang meminta tolong untuk diobati penyakitnya, minta dibuatkan ramuan padi agar tanah mereka subur, dan bahkan ada yang berguru kepadanya. Setelah Angku Pangilun wafat, penduduk sekitar kemudian menamai bukit tempat tinggalnya itu dengan nama “Gunung Pangilun” untuk menghormati jasanya. Itu lah sedikit cerita yang aku dapat dari Bu Rahma tentang daerah Gunung Pangilun ini. Ayah yang asli sini tak pernah bercerita tentang itu. Bagiku cerita legenda seperti itu sangat menarik. Menambah wawasanku.

Yang aku suka dari tempat ini adalah langit senjanya yang berwarna merah kekuning-kuningan. Ah aku selalu suka menatapinya setiap menjelang magrib. Siluet-siluet burung yang berterbangan seakan mengantar matahari sang penguasa siang ke peraduannya. Potret senja yang begitu indah. Di Jakarta setiap sore aku hanya menatap suntuk mobil-mobil yang mengular tak ada ujungnya di jalan raya. Belum lagi suara bising dan asap kendaraan yang mengaburkan langit. Mungkin kalau Jakarta adalah manusia, ia pasti sudah dinyatakan oleh dokter mengidap komplikasi penyakit akut yang obatnya belum ditemukan.

Sepertinya Gunung Pangilun kini sudah berhasil merebut tempat tersendiri di hatiku. Menggeser sedikit ruang yang tadinya diisi oleh kota Jakarta. Terlebih lagi ada seorang yang sejak tadi bayangannya mengganggu makan malamku. Nadia, si perempuan di balik jendela itu. Ia anak pertama Bu Rahma. Aku baru ingat ternyata ia selalu mengerjakan PR di meja ruang tengah itu ketika aku sedang menonton televisi bersama teman-teman. Seperti malam ini, ia sedang serius berkutat dengan buku tulisnya. Ia terlihat berpikir keras. Pulpen di tangan kanannya dimainkannya mengetuk ngetuk meja. Tangan kirinya memegang dahi. Tak seperti tadi siang, malam ini ia hanya memakai kaos oblong dan celana pendek biasa. Cantik juga kalau dilihat-lihat. Kenapa aku tak menyadarinya sejak kemarin-kemarin ya. Mungkin karena ia baru kelas 1 SMP dan terlihat masih kanak-kanak, jadi aku tak menaruh perhatian padanya.

Bu Rahma nampaknya menyadari putrinya sedang kesusahan. “Oh matematika ya, Nad. Tuh sama bang Rifka aja. Dia pinter lho.” Aku yang sedang memperhatikan Nadia, tiba-tiba tersentak kaget.

“Rifka, bisa kan bantu Nadia?” tanya Bu Rahma padaku yang malah termenung.

Yang menjawab malah justru teman-temanku yang ada di sana, “Iya Rifka bisa kok, Bu.” Sambil terkekeh Doni menyenggol lenganku, memberi isyarat untuk membantu Nadia.

“Oh iya bisa.” Jawabku.

“Soal nomer berapa, Nad?” Aku mendekati Nadia. Mencoba membantu menjelaskan beberapa soal yang tak bisa dikerjakannya. Matematika memang sudah menjadi makanan sehari-hariku. Sejak sekolah dasar aku sudah mahir dengan pelajaran hitung-hitungan. Ketika ujian, teman-temanku sering meminta jawaban padaku.

Nadia memperhatikan dengan baik apa yang sedang aku sampaikan. Sesekali ia memotong penjelasanku, bertanya bila ia tak mengerti apa yang sedang aku jelaskan. “Maaf bang, tolong ulangi lagi yang ini. Aku kurang mengerti.” Dengan senang hati aku akan mengulanginya lagi.

Ketika di dekatnya aku merasakan degup jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. “Itu tandanya kamu suka dia, Ka.” Kata temanku suatu waktu. Ah entahlah aku belum bisa memastikannya.

“Jadi kalian belum ada acara? Bagaimana kalau malam ini kalian ikut bantu kami. Tadinya ibu akan membakarnya bertiga bersama Nadia dan ayahnya. Tapi ibu sepertinya membeli terlalu banyak jagung di pasar tadi pagi. Kalau ada kalian kan si ayah tak perlu capek.” Bu Rahma bertanya pada teman-temanku yang masih asik menonton parade acara televisi dalam rangka menyambut tahun baru.

Teman-teman saling bertatapan dan berdiskusi sedikit. Doni melihatku–meminta persetujuan padaku. Aku yang tak punya pilihan rencana lain yang lebih menarik akhirnya mengangguk setuju. Bu Rahma tersenyum senang melihatku dan teman-teman ikut bergabung. Aku juga melihat seutas senyum dari bibir Nadia. Aku tak mengerti apa arti senyum itu.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika Nadia menyelesaikan tugasnya. Suami Bu Rahma lalu mengajakku dan teman-teman menyiapkan tempat pembakaran. Aku membantu menyalakan arang. Teman-teman lain ada yang mengupasi jagung dan menyiapkan minuman dingin. Bu Rahma dan Nadia sedang sibuk menyiapkan makanan lain di dapur.

Persiapan siap: api sudah menyala dan jagung sudah siap menghadapi lantai panggangan. Doni mengambil kipas untuk memulai pembakaran. Aku dan yang lain mengendalikan jagung-jagung yang terlihat pasrah. Membolak-balik agar terbakar merata. Sesekali aku gantian mengipas. Nadia dan Bu Rahma datang membawa makanan kecil.

Teman-temanku kembali kumat. Aku menjadi sasaran kejahilan mereka. “Nad, ambilkan tisu abang Rifka dong. Kasihan capek banget. Baru sebentar mengipasi, keringatnya sudah menetes kemana-mana tuh.” Doni lagi-lagi menggodaku. Sepertinya ia dan teman-teman ingin mencomblangi aku dengannya. Aku tersenyum. Aku juga melihat Nadia tersenyum malu.

Mereka malah tertawa melihat aku dan Nadia yang tersenyum kaku. Bu Rahma dan suaminya juga ikutan tertawa. Aku jadi ikut tertawa, mentertawakan diri sendiri. Kami tertawa bersama.

Malam tahun baru yang seru. Sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tadinya aku khawatir malam ini akan menjadi malam yang membosankan. Hanya bisa menelepon keluarga dan teman-teman di Jakarta lalu hanya termenung sendiri di kamar. Tapi ternyata kekhawatiranku berlebihan. Sampai lewat tengah malam dan kalender secara resmi berganti, aku malah lupa menelepon mereka. Sejenak aku seakan melupakan mereka. Aku punya keluarga baru di sini. Benar kata ayah, aku akan menemukan pengganti keluarga dan teman-teman. Benar-benar malam tahun baru yang tak terduga. Malam tahun baru itu aku habiskan dengan teman-teman, dengan Nadia, dengan keluarga baru.

***

Tok…Tok…Tok… Aku menghampiri jendela kamarnya. Aku mengetuk jendela kamarnya. Tidak ada respon dari dalam. Tampaknya sang penghuni sedang tidak ada di tempat atau mungkin tidur. Aku ingin mencobanya sekali lagi. Tapi tidak berani. Aku membalikkan badanku kembali ke asrama. Tapi sebuah panggilan menahan langkahku.

“Hai…” suaramu lembutmu menyapa telingaku. “Ada apa bang?

Aku kembali menuju jendela kamarnya. “Ah tidak, aku hanya ingin menyapamu. Aku mengganggu ya? Maaf kalau begitu.”

“Tidak kok, bang. Aku tadi sedang di dapur.” jawabnya.

Entah untuk ke berapa kalinya aku berbincang dengannya melalui jendela kamarnya. Sejak malam tahun baru itu aku menguatkan diriku untuk diam-diam menemuinya. Sesekali suara koor “Ciee..Ciee” terdengar.  Aku sudah tak peduli lagi dengan sorakan teman-temanku itu. Aku paling hanya akan tersenyum malu. Berbincang denganmu sudah menjadi hiburan paling menghibur bagiku. Tidak setiap hari memang kita berbincang. Biasanya setelah aku mengajarkan PR Matematika yang selalu tak berhasil ia kerjakan sendiri.

Sejak itu aku punya kebiasaan. Sepulang sekolah aku memanggilnya dengan ketukan halus di jendela kamarnya. Aku akan senang mendengar deru derap langkah kakinya yang menghampiriku. Aku tahu ia mencuri-curi kesempatan dari ibunya agar bisa berbincang denganku. Atau bahkan hanya untuk menyapa saja. Sebenarnya dia tak perlu besembunyi, karena Bu Rahma sudah tahu kebiasaan aku dan Nadia. Suatu waktu beliau memergoki kami yang sedang asik mengobrol. “Ngobrol aja di sini, di ruang tengah. Ga usah ngumpet-ngumpet begitu.” Ucapnya tanpa ada nada marah sama sekali. Ibunya tak mempersalahkan kita. Justru malah ia mempersilahkan kita berbincang di ruang tengah.

Aku tahu Bu Rahma paling senang padaku dari pada teman-teman asrama lain. Mungkin karena aku berasal dari kota yang paling jauh. Ia pernah mengatakannya padaku. Katanya aku pintar, sopan, baik, rajin, pokoknya semua perilaku baik diucapkannya. “Ah ibu terlalu berlebihan.” Kataku sambil tertawa malu yang tak terbiasa disanjung seperti itu.

Aku tahu teman-temanku juga sering mengetuk jendelanya. Menyampaikan salam yang katanya dariku. Teman-teman memang terlalu serius menjodohkanku dengannya. Suatu waktu aku ditarik-tarik oleh mereka menuju jendela kamarnya. Mereka senang sekali melihatku diam terpaku ketika ada di depan Nadia. Aku memang terkadang suka tak tahu harus ngomong apa bila sudah di depannya. Suara koor Ciee..Ciee..Ciee akan terdengar dari mulut mereka, menambah rasa maluku. Kalau sudah begitu tanpa kata-kata aku akan tersenyum lalu melangkah balik ke asrama.

***

Dua tahun berlalu. Aku sudah berada di tahun terakhirku di sekolah ini. Masa-masa ujian akhir yang menghantui setiap siswa akhirnya selesai juga. Sudah dua tahun pula aku dan dia tidak lagi rutin berbincang dari balik jendela kamarnya. Asrama hanya menampung siswa tahun pertama SMA Gunung Pangilun saja. Aku lalu pindah tempat tinggal ke rumah nenek. Memang sesekali aku mengunjungi asrama. Karena ada kewajiban bagi senior untuk membimbing juniornya yang sekarang sedang tinggal di asrama. Kesempatan itu lah aku menggunakannya untuk lagi menemuinya. Masih melalui jalan samping rumah. Aku juga sering menemui Bu Rahma untuk sekedar berbincang hangat.

Sampai saat ini aku belum mengetahui apa sebenarnya hubungan aku dengan Nadia. Ia terlihat suka padaku. Aku pun begitu. Semua teman-temanku juga ibunya juga sudah mengerti hubunganku dengan Nadia. Tapi aku tak pernah sanggup mengatakannya langsung. Seperti ada selotip hitam besar yang menutup mulutku ketika aku ingin mengatakannya.

Sampai saat aku harus pulang kembali ke Jakarta. Aku tak berhasil mengatakannya. Menggantungkan harapan-harapan palsu di hati wanita asli Padang itu. Salam perpisahan pun tak dapat aku sampaikan padanya. Aku seperti seolah meragu hebat. Padahal hatiku tak pernah sekali pun menyangkal rasa itu. Aku merutuki diriku sendiri, mengapa aku begitu takluk pada bisikan-bisikan setan yang meragukanku.

***

Tahun demi tahun berganti. Kehidupan kuliahku di Jakarta seolah melupakan begitu saja sesosok kenangan yang harusnya dirindu. Aku tak lagi berhubungan langsung dengannya. Aku hanya mendengar kabar dari teman-temanku yang berada di sana dan sering mengunjungi asrama untuk bertemu Bu Rahma. Nadia ternyata sudah menginjak kelas tiga SMA.

Kesempatan untuk bertemu dengan Nadia datang ketika liburan semester genap. Aku ditugaskan oleh ayah mengantarkan pesanan untuk nenek sekalian berlibur ke Padang. Ah momen yang tepat. Kali ini aku berniat mengajaknya jalan. Sudah lama aku ingin mengajaknya jalan, tapi selalu gagal karena aku yang tak pernah berani mengatakannya.

Karena aku sudah lama tidak ke Padang, aku bertanya tentang tempat-tempat yang menarik pada teman dan melakukan sedikit survey. Akhirnya aku dapat tempat yang cocok dan tidak terlalu jauh.

Aku lalu memberanikan diri meneleponnya. “Bagaimana kalau aku mengajakmu jalan? Mumpung aku sedang di sini.” tanyaku padamu lewat telepon.

Setelah sekian lama tak bertemu akhirnya aku berani mengajaknya jalan dan ia pun mengiyakan. Menjelang magrib aku sudah tiba di rumahnya untuk menjemputnya. Sebelum berangkat ia tiba-tiba tidak suka dengan tujuan yang aku sebutkan. Ia meminta untuk pergi ke Taman Budaya kota Padang, tempat di mana biasa ia menyaksikan pentas teater kesukaannya. Baiklah aku menurut saja. Apa pun yang ia mau akan ku turuti.

***

Malam begitu dingin kali ini. Hujan baru saja mengguyur hampir seluruh kota. Taman Budaya kota Padang ini masih terlihat beberapa pasangan seliweran. Kita duduk di salah satu bangku di Taman Budaya kota padang ini. Hening. Tak ada satu kata keluar dari kita berdua. Aku merusak suasana dengan pertanyaanku tadi. Aku sedang menunggunya menjawab pertanyaanku tadi. Bibirnya masih enggan mengeluarkan jawaban. “Maaf aku belum siap untuk perasaan yang serius” katamu dengan ragu.

“Baiklah aku akan kembali lagi padamu satu tahun lagi.” Aku akan besabar untuk menunggunya. Semoga ia pun sabar menungguku.

***

Malam ini hampir tepat satu tahun sejak pertemuan kita malam itu. Aku sekaligus ingin menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya Ayahnya seminggu yang lalu. Aku mengucapkan maaf kepada Bu Rahma yang tak dapat hadir pada pemakaman suaminya. Beliau memaklumi kondisiku.

Aku lalu berbincang dengan Nadia. Malam itu senyap. Kami terdiam. Aku mengulangi pertanyaanku satu tahun lalu.

“Jangan paksa aku. Aku tak ingin menjawabnya sekarang.” Jawabnya agak kesal. Aku tahu ia masih sedih ditinggal Ayah tercintanya. Tapi aku masih saja menodongnya dengan pernyataan yang semakin menggugah emosinya.

“Kalau tidak dijawab malam ini, aku tidak akan menanyakannya lagi.” Kataku tegas. Entah darimana keberanianku malah terlihat egois.

Nadia terdiam lama. Aku tahu ia memendam amarah. Tak suka aku desak dengan pertanyaan itu.

“Kalau begitu maaf, bang.” Katanya halus. Mengakhiri malam sarat emosi itu. Mengakhiri hubungan yang telah lama kita pendam bersama-sama.

***

Nadia, biarkan aku berpetuah sedikit: Barangkali hakikat sebenarnya cinta adalah dua insan yang saling mendoakan tanpa diminta, tanpa perlu tahu bahwa orang lain sedang berdoa untuknya. Seperti doa tulus seorang ibu untuk putra-putrinya.

Begitu juga aku. Aku pun akan dengan senang hati mendoakanmu agar selalu sehat. Agar kamu bisa menyusulku. Agar kamu bisa bertemu denganku lagi. mengenalkan pasanganmu padaku seperti saat ini ketika aku mengenalkan pasanganku padamu.

Terimakasih sudah memberiku kesempatan mempelajari arti cinta tulus, memaknai arti sebuah proses kisah kasih, memahami bahwa cinta memang tak semua berakhir baik. Mungkin sebenarnya ini memang berakhir baik untuk kita. Aku akan selalu berdoa atas nama cinta untuk perempuan kecilku, perempuan yang sudi aku titipkan perasaan terpendamku, perempuan manis yang tak mungkin pernah aku lupakan: perempuan yang selalu menyapaku di balik jendela.

banner_nulis_kilat

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Maafkanlah Aku

Hati memang sungguh perasa hebat. Bisa merasakan semua yang dirasa. Rasa senang yang mewakili semua momen membahagaikan. Rasa sedih yang memendam segala tangis air mata. Rasa emosi yang mengundang bisikan setan yang pasti tak baik. Juga rasa bersalah yang lahir dari tingkah laku ucapan yang terucap dan terlaku tidak sesuai maksud hati.

 

Pagi ini aku merasa bersalah. Aku seringkali mengecewakan orang-orang di sekelilingku karena kesalahanku. Semua orang yang tahu aku salah, membiarkanku begitu saja. Membuatku terbiasa melakukan salah. Tapi entah mengapa kali ini aku sangat amat merasa bersalah. Saking begitu dalamnya rasa bersalahku, sampai merasa aku bukan siapa-siapa di dunia ini. Tanpa aku, mungkin semuanya akan baik-baik saja.

 

Semalam, seorang peri baik hati datang kepadaku. Membuka sebuah cerita tentang kesalahanku. Yang membuka mata kesadaranku akan semua salahku. Malam itu seakan semua orang menunjuk kepadaku. Menuntutku dengan segala rasa kecewa mereka yang disebabkan oleh kegagalanku.

Kemudian peri cantik itu pergi. Meninggalkanku yang terduduk lemas menutup wajah. Menyesali ketidakberdayaanku melawan rasa bersalah. Dari langit ia menjatuhkan sebuah kertas tergulung oleh pita. Aku membuka dan membacanya. Sebuah kalimat yang membuatku bangkit.

Aku bukan bermaksud membuatmu terluka. Aku ingin kamu mengobati lukamu. Agar kau menjadi orang yang bersih tanpa luka. Kembali terlahir suci seperti ketika ayahmu mengadzanimu dan memberikanmu nama.”

Lalu aku seakan melihat ayah menggendongku setelah dimandikan oleh ibu bidan itu. Aku menangis tanpa dosa. Aku mendengar suara ayah melantunkan adzan tepat di telinga kananku. Aku mulai tenang. Merasa nyaman di pelukan ayah. Aku tertidur.

Sejurus kemudian aku terbangun dari tempat tidurku tanpa pelukan ayah lagi. Tersadar tubuh ini sudah tak lagi kecil. Dengan banyak dosa yang telah diperbuat. Aku mengusapkan wajahku dengan air. Menyiram setan-setan yang masih mencoba bergelayutan di pelopak mataku. Rasa bersalah ini semakin kuat menyesakkan hati. Aku ingin segera meminta maaf pada orang-orang sekitarku. Aku beristighfar mengaku salah.

Semoga Tuhan mengampuni kesalahanku, seperti Dia mengampuni Adam dan Hawa yang telah berlaku dosa di surga dengan mempertemukan mereka lagi di bumi. Menghadirkan sebuah rasa bahagia setelah rasa bersalah.

Untuk siapapun:

atas semua maksud baik namun kata terucap salah, atas semua niat suci namun tindakan terlaku dosa, dan atas apa pun itu-maafkanlah aku.

 

 

Image
~Nastamir fii waqtin akhor~
Categories: Uncategorized | Tags: | 2 Comments

Hujan berhasil lagi membuat “Kencan pertama kita berbeda”

Biasanya sebelum mempublikasikan tulisan amatiran saya di blog, saya mengirimkan draft tulisan tersebut ke beberapa teman untuk kiranya bisa dikomentari. Maksudnya agar sebelum kesalahan dari tulisan itu dibaca orang banyak, saya sudah terlebih dahulu memperbaikinya. Dan menjadi koreksian pribadi saya.

Continue reading

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Tapi selamanya..

Film Thailand selalu berhasil membuat saya ikut larut dalam ceritanya. Mungkin karena saya melihat suasana Thailand dari film seperti melihat suasana Indonesia. Jalan-jalannya, wajah-wajahnya, beberapa kata pada bahasanya. Tidak asing lagi.

Pagi ini saya mendapat pelajaran dari film Thailand “My True Friend”. Bagaimana persahabatan erat beberapa laki-laki yang berkumpul dan berkelahi membela temannya memang untuk menang, tetapi yang paling penting bukan untuk membunuh.

Dan ada satu lagi percakapan dalam film tersebut tentang persahabatan itu sendiri yang membuat saya mengutipnya di tulisan ini.

“Bagiku, menyayangi teman bukan berarti memanjakan mereka. Jika mereka salah, aku harus mengingatkannya. Walaupun itu membuat mereka marah. Persahabatan tidak hanya sehari dua hari. Tapi selamanya..” (Gun, My True Friend)snapshoot_mytruefriend

Categories: Uncategorized | Tags: , , | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.