Sore itu masih terlalu terang untuk menyambut datangnya sang bulan.
Sore itu sudah terlalu gelap bagi sang surya untuk tetap di tempatnya.
Sepeda motor yang saya kendarai seakan menuruti ayunan tangan pak Polisi untuk mengisi tempat kosong ketika lampu berwarna merah menyala diantara lampu lalu lintas.
Berada di garis depan batas kendaraan berhenti.
Sejajar dengan satu mobil angkutan warna merah dan satu mobil pribadi yang kurang saya perhatikan.
Seketika seorang bocah kecil di kiri sisi jalan datang dengan sebotol kosong air mineral diiringi alunan lagu tak jelas yang keluar dari mulutnya.
Tolehan saya langsung tertuju padanya.
Gayung bersambut, sang bocah kecil itu langsung berdiri tepat disamping “tunggangan besi” yang saya kendarai.
Alunan lagu terus mengalun dari mulutnya.
Semakin mengalun semakin tak mengerti apa yang ia lantunkan.
Hatiku terketuk.
Ikut mengalun sebuah kisah kehidupan nyata didepanku.
Tanganku seakan mengikuti alunan menyusuri kantong celana depan.
Berharap ada beberapa koin yang biasanya tersimpan disana.
Tetapi hasilnya nihil.
Tak berhenti disana.
Mengikuti akal dan hati yang sedang berdendang.
Tanganku berpindah ke kantong belakang.
Tempat dompetku berada.
Berharap juga ada beberapa lembar pecahan kecil.
Tetapi yang pertama ku lihat adalah beberapa lembar pecahan agak besar.
Tanpa banyak pikir lagi, selembar pecahan uang agak besar pun ku sodorkan. Tidak terlalu besar sebenarnya.
Ketika dia melihat selembar uang tersebut, aku melihat tatapan kaget seorang bocah.
Mungkin dia sebelumnya sudah mengira akan mendapat recehan-recehan kecil.
Tapi ternyata tidak.
Saya ingat sekali tatapan mata dan ekspresi wajah bocah itu.
Sangat dalam.
Setelah memalingkan kembali tatapanku ke depan.
Bersiap kalau-kalau lampu lalu lintas itu berganti hijau.
Tiba-tiba satu bocah datang lagi.
“Bang..”
Tanpa ada satu kata pun terucap.
Aku hanya tersenyum dan memberi isyarat tangan.
Dengan sebuah jempol dan diikuti dengan telunjuk dan jari tengah.
Seolah-olah jari-jari ku berkata:
“Sip. Berdua ya sama temen lu.”
Kemudian mereka berdua berlalu dan berbincang.
Entah apa yang mereka sepakati.
Tak begitu perduli apa yang mereka perbincangkan.
Kulihat mereka lalu berjalan ke arah beberapa penghuni lain kawasan lampu merah itu.
Sangat lama ternyata lampu hijau membutuhkan waktu untuk menunggu giliran “tampil”.
Pemberianku itu mungkin salah.
Karena setahu saya ada peraturan yang melarang warga memberi uang ke orang-orang seperti mereka.
Tapi apakah saya akan berdiam saja ketika ada bocah didepan saya mengharapkan sebagian kecil dari apa yang baru saya dapat sebelum berhenti di lampu merah itu.
Bagi saya itu mungkin tak berarti.
Tapi bagi mereka itu sangat berarti.
Tak ada penyesalan selembar uang keluar dari dompet.
Tak ada penyesalan karena tidak ada uang receh di kantong celana.
Hanya ada hati lega karena saat ini saya masih bisa berbagi.
Masih bisa memberi.
Masih punya rasa peduli.
Ini adalah salah satu kelas jalanan yang kutemui untuk belajar memahami mata kuliah ilmu ikhlas.
~Nastamir fi Waqtin Akhor~